Surat
Senja untuk Mentari
“Nanda…. Bangun nak udah siang.”suara itu sudah tak asing
lagi terdengar dalam telingaku, ya itu suara Ibu dari balik pintu kamarku. namun
aku masih saja malas untuk membuka mata karena hari itupun hari libur sekolah sehingga
aku membiarkan embun mengering dengan sendirinya dan membiarkan ayam berhenti
berkokok, “Sayang, ayo bangun Ayah udah nunggu kita sarapan di bawah, setelah
itu tak apa kamu tidur lagi yang penting ayo kita sarapan bersama dulu.”ujar
Ibu yang berhasil membuatku terbangun seolah terbius dengan rayuan Ibu yang
mengizinkanku tidur kembali setelah sarapan.
“Kamu ini mentang-mentang libur jadi males bangun, gimana
nanti mau gapai cita-cita bangun aja telat nanti cita-citamu udah di bawa kabur
sama ayam,”omel Ayah padaku yang masih sesekali menguap dan mengacak-acak
rambutku yang sangat kusut, “Oh Iya Nak, bagaimana pendidikanmu selanjutnya?
Masih mau melanjutkan di Fakultas Hukum? Ibu lebih setuju kamu masuk kedokteran
soalnya selain kamu bisa memanfaatkan ilmumu dengan baik tapi kamu juga
melanjutkan pekerjaan Ayahmu”pertanyaan Ibu yang membuatku sedikit tersedak
“uhuuk, apaan sih Bu aku pengennya masuk hukum, apa karena Ayahnya seorang
dokter maka anaknya harus jadi dokter juga? Aku udah gede Bu aku ga mau di atur-atur,
ini masa depanku Bu.! Ibu buat selera makanku hilang.!” Akupun langsung pergi menuju
kamarku, “Nanda, Nanda kamu itu cepet ngambek maksud Ibumu itu benar, Aww
awww.” “Ayaaah, Ayah kenapa?”suara teriak dari Ibu membuatku menoleh ke
belakang dan ku lihat Ayah sudah dalam keadaan tak sadarkan diri, tanpa
berfikir panjang aku langsung mendekati Ibu “Ibu, Ayah kenapa?” “Ibu juga ga
tahu sekarang cepet kamu telvon ambulans.” “Iya Bu.” Tak lama kemudian ambulans
datang dan membawa Ayah menuju rumah sakit.
Selama
di perjalanan Ibu tak sedetikpun melepaskan genggamannya dari tangan Ayah, rasanya
semua ini salahku semua ini karena aku yang tak mendengarkan saran Ibu, semua
ini karena aku yang berbicara bernada keras padahal aku tahu Ayah memiliki
masalah pada jantungnya, sepertinya aku bodoh, aku anak durhaka, kapan aku bisa
membahagiakan Ayah, Ayah terlalu sibuk membantu orang lain tanpa Ia fikirkan
kesehatannya yang semakin hari semakin menurun, isak tangisku dalam hati tak
menerima keadaan ini aku takut terjadi apa-apa pada Ayah. Sampai di rumah sakit
Ayah langsung masuk ke ruang ICU. Kejadiannya terlihat semakin mencekam dan dia
terus meronta kesakitan di balik pintu bangsal ruangan yang tak pernah Aku bayangkan
sosok pahlawan dalam hidupku akan
merasakan bangsal itu dan terbaring tak berdaya di dalamnya. “Tuhan……..” jeritanku
dalam hati tak kuasa menahan kepedihan melihat kejadian mengerikan itu terjadi
pada Ayah, air mata tak kuasa membasahi pipiku dan Ibu namun kita tak mau Ayah
tahu jika ada air mata yang mengalir dari bola mata dua bidadarinya. Ibu tak
henti memelukku sambil menangis, “Nanda…. Kamu mau kemana?”panggil Ibu saat aku
pergi menjauh dari ruangan mengerikan itu, Akupun terpaku bersama tumpukan
bunga di taman rumah sakit rasanya entah harus aku bagikan kepada siapa
kepedihan ini selain kepada bunga dan kumbang yang mulai kembali menuju sarang
karena senja mulai datang. Cahaya terlihat semakin padam disaat terpaan angin tak
menyentuh tubuhku sedikitpun. Hanya satu harapan yang ku minta semoga mentari
esok tak sekejam senja saat ini.
Sesungguhnya
ini tak adil bagiku, ini senja yang takkan bisa ku lupakan, mungkin ini senja
terburuk dalam hidupku namun aku tak berhak menyalahkan keadaan, kenapa engkau
beri sakit untuk Ayah kenapa tidak Kau beri sakit itu untukku Tuhan, hujanpun
mulai turun dan rintikannya membasahi tubuhku, rasanya aku ingin menolong Ayah,
aku ingin membantu Ayah. Tiba-tiba terlintas perkataan Ibu pagi tadi, mungkin
telah banyak orang yang merasakan apa yang ku rasakan sekarang dan mereka
berharap kepada seorang berjas putih yang selalu membawa stetoskop di lehernya
itu. Dan suatu kebahagiaan pada wajah mereka saat sosok itu telah membantu
keluarganya melewati rasa sakitnya itu. Mungkin benar saran Ibu jika aku harus
menjadi sosok yang bisa membantu orang lain lewat ilmu yang ku miliki sehingga
ilmu yang selama ini ku dapat tidak sia-sia begitu saja melainkan mampu
memberikan manfaat untuk banyak orang. Sejak saat ini aku bertekad untuk
mengikuti saran Ibu dan aku akan memberikan Ayah kejutan di saat pertama kali
Ia membukakan mata nanti dan akan ku bisikkan padanya kalau aku ingin
melanjutkan profesinya.
Tanpa
ambil waktu lama aku langsung lari masuk menuju ruangan mengerikan itu untuk
menemui Ayah dan Ibu sebelum semuanya terlambat, “Ibuuu, Ayaaaah” tangisku
pecah saat melihat sosok yang terbaring di hadapan Ibu telah membuka matanya
dan melewati masa kritisnya, air mata ini air mata bahagia, aku tak terlambat
mengatakan ini aku masih bisa melihat mereka, aku masih bisa melihat senyum
yang terukir di wajahnya “tadi kamu kemana Nan?”ucap Ayah dengan suara yang
masih terdengar parau dan lemas “Ayaaah,
Ibuuu Nanda mau melanjutkan profesi Ayah, Nanda akan belajar dengan
bersungguh-sungguh untuk mengejar cita-cita Nanda dan mewujudkan mimpi Ibu dan
Ayah memiliki anak seorang Dokter, Nanda mau mengukir senyum orang-orang di
sekeliling Nanda, Nanda ingin ilmu Nanda bermanfaat untuk orang banyak
sebagaimana Ilmu Ayah.”penjelasanku yang membuat Ayah dan Ibu meneteskan air
mata. “Apa kamu serius Nak?” Tanya Ibu dan Ayah, aku hanya menjawab dengan
anggukan kepala sembari memeluk Ayah dan Ibu. “Ayah, Ibu kini yang Nanda butuh
hanya doa dari kalian, Nanda sayang kalian.” “Iya Nak Ibu dan Ayah pasti akan
mendoakanmu semoga senja mendengar keinginanmu dan ia menyampaikannya kepada
sang mentari”. Kamipun menangis bahagia sembari berpelukan dan aku sadar Orang
tua tak akan menjerumuskan anaknya ke lubang buaya namun mereka akan
menerbangkan anaknya ke angkasa.
Biodata Penulis
Nama
: Nur Hidayati
NIM
: G14160010
No.HP/Id
line : 0895331187267/nhidayati1604
Judul
Karya :
Surat Senja untuk Mentari