Sabtu, 01 April 2017

Surat Senja Untuk Mentari



Surat Senja untuk Mentari
            “Nanda…. Bangun nak udah siang.”suara itu sudah tak asing lagi terdengar dalam telingaku, ya itu suara Ibu dari balik pintu kamarku. namun aku masih saja malas untuk membuka mata karena hari itupun hari libur sekolah sehingga aku membiarkan embun mengering dengan sendirinya dan membiarkan ayam berhenti berkokok, “Sayang, ayo bangun Ayah udah nunggu kita sarapan di bawah, setelah itu tak apa kamu tidur lagi yang penting ayo kita sarapan bersama dulu.”ujar Ibu yang berhasil membuatku terbangun seolah terbius dengan rayuan Ibu yang mengizinkanku tidur kembali setelah sarapan.
            “Kamu ini mentang-mentang libur jadi males bangun, gimana nanti mau gapai cita-cita bangun aja telat nanti cita-citamu udah di bawa kabur sama ayam,”omel Ayah padaku yang masih sesekali menguap dan mengacak-acak rambutku yang sangat kusut, “Oh Iya Nak, bagaimana pendidikanmu selanjutnya? Masih mau melanjutkan di Fakultas Hukum? Ibu lebih setuju kamu masuk kedokteran soalnya selain kamu bisa memanfaatkan ilmumu dengan baik tapi kamu juga melanjutkan pekerjaan Ayahmu”pertanyaan Ibu yang membuatku sedikit tersedak “uhuuk, apaan sih Bu aku pengennya masuk hukum, apa karena Ayahnya seorang dokter maka anaknya harus jadi dokter juga? Aku udah gede Bu aku ga mau di atur-atur, ini masa depanku Bu.! Ibu buat selera makanku hilang.!” Akupun langsung pergi menuju kamarku, “Nanda, Nanda kamu itu cepet ngambek maksud Ibumu itu benar, Aww awww.” “Ayaaah, Ayah kenapa?”suara teriak dari Ibu membuatku menoleh ke belakang dan ku lihat Ayah sudah dalam keadaan tak sadarkan diri, tanpa berfikir panjang aku langsung mendekati Ibu “Ibu, Ayah kenapa?” “Ibu juga ga tahu sekarang cepet kamu telvon ambulans.” “Iya Bu.” Tak lama kemudian ambulans datang dan membawa Ayah menuju rumah sakit.
Selama di perjalanan Ibu tak sedetikpun melepaskan genggamannya dari tangan Ayah, rasanya semua ini salahku semua ini karena aku yang tak mendengarkan saran Ibu, semua ini karena aku yang berbicara bernada keras padahal aku tahu Ayah memiliki masalah pada jantungnya, sepertinya aku bodoh, aku anak durhaka, kapan aku bisa membahagiakan Ayah, Ayah terlalu sibuk membantu orang lain tanpa Ia fikirkan kesehatannya yang semakin hari semakin menurun, isak tangisku dalam hati tak menerima keadaan ini aku takut terjadi apa-apa pada Ayah. Sampai di rumah sakit Ayah langsung masuk ke ruang ICU. Kejadiannya terlihat semakin mencekam dan dia terus meronta kesakitan di balik pintu bangsal ruangan yang tak pernah Aku bayangkan sosok pahlawan  dalam hidupku akan merasakan bangsal itu dan terbaring tak berdaya di dalamnya. “Tuhan……..” jeritanku dalam hati tak kuasa menahan kepedihan melihat kejadian mengerikan itu terjadi pada Ayah, air mata tak kuasa membasahi pipiku dan Ibu namun kita tak mau Ayah tahu jika ada air mata yang mengalir dari bola mata dua bidadarinya. Ibu tak henti memelukku sambil menangis, “Nanda…. Kamu mau kemana?”panggil Ibu saat aku pergi menjauh dari ruangan mengerikan itu, Akupun terpaku bersama tumpukan bunga di taman rumah sakit rasanya entah harus aku bagikan kepada siapa kepedihan ini selain kepada bunga dan kumbang yang mulai kembali menuju sarang karena senja mulai datang. Cahaya terlihat semakin padam disaat terpaan angin tak menyentuh tubuhku sedikitpun. Hanya satu harapan yang ku minta semoga mentari esok tak sekejam senja saat ini.
Sesungguhnya ini tak adil bagiku, ini senja yang takkan bisa ku lupakan, mungkin ini senja terburuk dalam hidupku namun aku tak berhak menyalahkan keadaan, kenapa engkau beri sakit untuk Ayah kenapa tidak Kau beri sakit itu untukku Tuhan, hujanpun mulai turun dan rintikannya membasahi tubuhku, rasanya aku ingin menolong Ayah, aku ingin membantu Ayah. Tiba-tiba terlintas perkataan Ibu pagi tadi, mungkin telah banyak orang yang merasakan apa yang ku rasakan sekarang dan mereka berharap kepada seorang berjas putih yang selalu membawa stetoskop di lehernya itu. Dan suatu kebahagiaan pada wajah mereka saat sosok itu telah membantu keluarganya melewati rasa sakitnya itu. Mungkin benar saran Ibu jika aku harus menjadi sosok yang bisa membantu orang lain lewat ilmu yang ku miliki sehingga ilmu yang selama ini ku dapat tidak sia-sia begitu saja melainkan mampu memberikan manfaat untuk banyak orang. Sejak saat ini aku bertekad untuk mengikuti saran Ibu dan aku akan memberikan Ayah kejutan di saat pertama kali Ia membukakan mata nanti dan akan ku bisikkan padanya kalau aku ingin melanjutkan profesinya.
Tanpa ambil waktu lama aku langsung lari masuk menuju ruangan mengerikan itu untuk menemui Ayah dan Ibu sebelum semuanya terlambat, “Ibuuu, Ayaaaah” tangisku pecah saat melihat sosok yang terbaring di hadapan Ibu telah membuka matanya dan melewati masa kritisnya, air mata ini air mata bahagia, aku tak terlambat mengatakan ini aku masih bisa melihat mereka, aku masih bisa melihat senyum yang terukir di wajahnya “tadi kamu kemana Nan?”ucap Ayah dengan suara yang masih terdengar parau dan lemas  “Ayaaah, Ibuuu Nanda mau melanjutkan profesi Ayah, Nanda akan belajar dengan bersungguh-sungguh untuk mengejar cita-cita Nanda dan mewujudkan mimpi Ibu dan Ayah memiliki anak seorang Dokter, Nanda mau mengukir senyum orang-orang di sekeliling Nanda, Nanda ingin ilmu Nanda bermanfaat untuk orang banyak sebagaimana Ilmu Ayah.”penjelasanku yang membuat Ayah dan Ibu meneteskan air mata. “Apa kamu serius Nak?” Tanya Ibu dan Ayah, aku hanya menjawab dengan anggukan kepala sembari memeluk Ayah dan Ibu. “Ayah, Ibu kini yang Nanda butuh hanya doa dari kalian, Nanda sayang kalian.” “Iya Nak Ibu dan Ayah pasti akan mendoakanmu semoga senja mendengar keinginanmu dan ia menyampaikannya kepada sang mentari”. Kamipun menangis bahagia sembari berpelukan dan aku sadar Orang tua tak akan menjerumuskan anaknya ke lubang buaya namun mereka akan menerbangkan anaknya ke angkasa.
Biodata Penulis
Nama                           : Nur Hidayati
NIM                            : G14160010
No.HP/Id line                         : 0895331187267/nhidayati1604
Judul Karya                 : Surat Senja untuk Mentari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar